Pengertian Madzhab Shahabi 

Memahami Pengertian Madzhab Shahabi dan Perannya dalam Hukum Islam

Posted on

Hasiltani.id – Memahami Pengertian Madzhab Shahabi dan Perannya dalam Hukum Islam.Madzhab Shahabi merujuk pada pemahaman dan pendapat yang berasal dari para sahabat Nabi Muhammad SAW dalam menentukan hukum-hukum Islam.

Sebagai generasi pertama yang hidup langsung bersama Nabi dan menerima ajaran Islam secara langsung, para sahabat memiliki kedudukan istimewa dalam tradisi keilmuan Islam.

Pemikiran mereka sering dijadikan rujukan dalam merumuskan berbagai hukum, terutama dalam hal-hal yang tidak secara langsung dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis.

Oleh karena itu, memahami pengertian madzhab shahabi menjadi penting untuk mengapresiasi kontribusi sahabat dalam perkembangan hukum Islam serta bagaimana pemahaman mereka terus mempengaruhi interpretasi hukum hingga saat ini.

Pengertian Madzhab Shahabi

Madzhab Shahabi adalah istilah yang berasal dari bahasa Arab. Secara etimologis, kata “madzhab” adalah bentuk kata benda dari kata kerja “zahaba” yang berarti “pergi.” Oleh karena itu, madzhab secara harfiah berarti “tempat pergi” atau “jalan.” Kata-kata lain yang memiliki makna serupa adalah “maslak,” “thariiqah,” dan “sabiil,” yang semuanya merujuk pada “jalan” atau “cara.”

Sesuatu disebut madzhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khas dari orang tersebut. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, madzhab adalah metode yang dibentuk setelah melalui proses pemikiran dan penelitian yang mendalam. Metode ini kemudian dijadikan pedoman oleh orang yang mengikutinya, dengan batasan-batasan, bagian-bagian, dan prinsip-prinsip yang jelas. Dengan demikian, madzhab Sahabat adalah jalan yang diambil oleh para sahabat Nabi.

Baca Juga :  Contoh Pantun Bahasa Lampung Tentang Percintaan dan Nasihat

Madzhab Sahabat, yang sering juga disebut Qaul Sahabat, mengacu pada pendapat-pendapat para sahabat dalam masalah-masalah ijtihad. Dengan kata lain, Qaul Sahabat adalah pendapat para sahabat mengenai suatu kasus yang disampaikan oleh para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan secara langsung dalam Al-Qur’an atau hadits.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa madzhab Sahabat adalah jalan yang ditempuh oleh para sahabat dalam menetapkan hukum Islam, berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijtihad. Qaul Sahabat adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para sahabat Rasulullah saw., terkait hukum dalam masalah-masalah yang tidak diatur dalam nash.

Kedudukan Madzhab Shahabi sebagai Sumber Hukum

Setelah mengetahui Pengertian Madzhab Shahabi, Hasiltani akan membahas keudukan madzab shahabi sebagai sumber hukum.

Kedudukan madzhab shahabi sebagai sumber hukum dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Madzhab Sahabat yang Berdasarkan Sabda, Perbuatan, dan Ketetapan Rasul

Jika madzhab shahabi didasarkan pada sabda, perbuatan, atau ketetapan Rasulullah, maka hal ini wajib ditaati. Ini karena pada dasarnya, madzhab tersebut merupakan bagian dari Sunnah Rasul.

2. Madzhab Sahabat yang Berdasarkan Ijtihad dan Telah Disepakati (Ijma’ Sahabi)

Jika madzhab shahabi didasarkan pada hasil ijtihad dan telah disepakati oleh para sahabat (ijma’ sahabi), maka madzhab tersebut dapat dijadikan hujjah (argumentasi) dan wajib ditaati.

Alasan utamanya adalah karena para sahabat dekat dengan Rasulullah dan memiliki pemahaman mendalam tentang rahasia-rahasia syariat, serta mampu memahami perbedaan pendapat dalam berbagai peristiwa. Contoh madzhab sahabat yang telah mereka sepakati adalah tentang bagian warisan untuk nenek, yaitu sebesar seperenam (1/6) dari harta warisan.

3. Madzhab Sahabat yang Tidak Disepakati

Jika madzhab sahabat tersebut tidak disepakati oleh para sahabat lainnya, maka madzhab ini tidak dijadikan hujjah dan tidak wajib diikuti.

Mengenai pandangan para imam:

  • Abu Hanifah mengakui adanya ra’yu (pendapat pribadi) dari sahabat.
  • Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang menjadikan perkataan sahabat sebagai hujjah, karena pendapat sahabat tersebut didasarkan pada ra’yu, dan di antara sahabat sendiri pun terdapat perbedaan pendapat.

Macam-macam Madzhab Shahabi Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah

Pada artikel Pengertian Madzhab Shahabi, Hasiltani juga membahas macam-macam madzab shahabi menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.

Menurut Ibnu Qayyim dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in, madzhab shahabi dapat dikelompokkan menjadi enam bentuk, yaitu:

Baca Juga :  Apa Saja Dampak Negatif Geng Motor Bagi Para Pelajar

1. Fatwa yang Dengar Langsung dari Nabi Muhammad

Ini adalah fatwa yang para sahabat dengar langsung dari Nabi Muhammad.

2. Fatwa yang Dengar dari Orang yang Mendengar dari Nabi Muhammad

Fatwa ini berasal dari sahabat yang mendengar dari orang lain yang mendengar langsung dari Nabi Muhammad.

3. Fatwa Berdasarkan Pemahaman Terhadap Ayat Al-Qur’an

Fatwa ini didasarkan pada pemahaman seorang sahabat terhadap ayat Al-Qur’an yang mungkin masih belum jelas maksudnya bagi kita.

4. Fatwa yang Disepakati oleh Tokoh-tokoh Sahabat

Fatwa ini telah disepakati oleh para tokoh sahabat dan sampai kepada kita melalui salah seorang dari mereka.

5. Fatwa Berdasarkan Kesempurnaan Ilmu Sahabat

Fatwa ini didasarkan pada kesempurnaan ilmu seorang sahabat, baik dalam hal bahasa, tingkah laku, maupun pengetahuannya yang mendalam tentang keadaan dan maksud-maksud Nabi Muhammad.

Kelima jenis fatwa ini wajib diikuti.

6. Fatwa Berdasarkan Pemahaman yang Tidak Datang dari Nabi Muhammad dan Salah

Fatwa ini didasarkan pada pemahaman sahabat yang tidak berasal dari Nabi Muhammad, dan pemahaman tersebut ternyata salah. Fatwa seperti ini tidak dijadikan hujjah.

Pelaksanaan Madzhab Shahabi dalam Kehidupan Masyarakat

Pada pembahasan Pengertian Madzhab Shahabi, perbedaan pandangan para ulama mengenai kedudukan madzhab shahabi sebagai salah satu sumber hukum menyebabkan adanya perbedaan dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak dijelaskan secara tegas dalam nash.

Berikut beberapa contoh yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari:

1. Hukum Shalat Jum’at bagi yang Telah Shalat Ied

Pendapat Imam Syafi’i:

Imam Syafi’i berpendapat bahwa kewajiban shalat Jum’at tetap berlaku bagi penduduk kota (ahli balad), sementara penduduk desa (ahli qura) diberi keringanan (rukhshah). Imam Syafi’i mendasarkan pendapatnya pada sebuah riwayat dari Imam Malik, yang mengisahkan bahwa Utsman bin Affan berkata, “Sesungguhnya pada hari ini telah berkumpul dua Id (hari raya). Maka barang siapa dari ahli A’liyah yang ingin menunggu, tunggulah, dan barang siapa yang ingin pulang, maka diizinkan baginya.”

2. Status Pernikahan dalam Masa ‘Iddah

Pendapat Imam Malik, Al-Auza’i, dan Al-Laits:

Mereka berpendapat bahwa pasangan yang menikah dalam masa ‘iddah harus dipisahkan, dan wanita tersebut menjadi haram bagi laki-laki tersebut selamanya. Pendapat ini didasarkan pada perkataan Umar bin Khattab, yang memisahkan antara Thalhah Al-Asdiah dan suaminya Rasyid Ats-Tsaqafi karena mereka menikah dalam masa ‘iddah. Umar mengatakan bahwa jika seorang wanita menikah dalam masa ‘iddah dan belum digauli oleh suami barunya, maka mereka harus dipisahkan. Wanita tersebut harus menyelesaikan masa ‘iddah dari suami pertamanya dan jika menikah lagi dengan suami kedua, dia harus menyelesaikan masa ‘iddah dari suami kedua. Jika suami ketiga menyusul, mereka tidak boleh bersatu selamanya.

Baca Juga :  Adab Terhadap Orang Tua yang Harus Anak-Anak Ketahui Sejak Dini

Pendapat Ali bin Abi Thalib:

Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa pasangan tersebut dipisahkan, tetapi wanita tersebut tetap berhak atas maharnya. Setelah masa ‘iddah berakhir, jika wanita tersebut ingin menikah lagi dengan suami sebelumnya, maka hal itu diperbolehkan.

3. Hukum Potong Tangan bagi Seorang Pembantu yang Mencuri

Pendapat Jumhur Ulama:

Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang pembantu yang mencuri harta tuannya tidak dikenai hukuman potong tangan. Dasar dari pendapat ini adalah riwayat yang menyatakan bahwa Abdullah bin Amar bin Hadhrami membawa seorang hamba yang mencuri cermin berharga milik istrinya kepada Umar bin Khattab dan meminta agar tangan hamba tersebut dipotong. Namun, Umar berkata, “Lepaskan saja, karena tidak ada hukuman potong tangan bagi pembantu yang mencuri harta tuannya.”

Riwayat dari Ibnu Mas’ud:

Seorang datang kepada Ibnu Mas’ud dan mengatakan bahwa budaknya mencuri harta budak lainnya. Ibnu Mas’ud berkata, “Tidak ada hukuman potong tangan bagi ‘harta’ (budak) yang mencuri ‘harta’ (budak).”

Penutup

Demikianlah informasi dari Hasiltani.id tentang Pengertian Madzhab Shahabi.

Dalam memahami pengertian Madzhab Shahabi, kita dapat melihat betapa pentingnya peran para sahabat Nabi dalam pembentukan hukum Islam.

Pendapat dan fatwa mereka, yang didasarkan pada pengalaman langsung bersama Rasulullah SAW, memberikan dasar yang kuat bagi penafsiran dan penerapan syariat dalam berbagai aspek kehidupan.

Meskipun terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai kehujjahan madzhab shahabi sebagai sumber hukum, pengaruh dan kontribusi mereka tidak dapat diabaikan.

Dengan mengkaji madzhab shahabi, kita tidak hanya menghargai warisan intelektual para sahabat, tetapi juga memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana hukum Islam berkembang dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Terimakasih telah membaca artikel Pengertian Madzhab Shahabi ini, semoga informasi mengenai Pengertian Madzhab Shahabi ini bermanfaat untuk Sobat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *