Pengertian Kalam dalam Ilmu Nahwu

Pengertian Kalam dalam Ilmu Nahwu dan Pembagiannya

Posted on

Hasiltani.id – Pengertian Kalam dalam Ilmu Nahwu dan Pembagiannya. Ilmu Nahwu, sebagai bagian penting dalam studi bahasa Arab, membawa konsep-konsep yang mendalam terkait dengan susunan kalimat dan penggunaan kata. Salah satu aspek krusial dalam Ilmu Nahwu adalah “kalam.”

Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi pengertian kalam dalam konteks Ilmu Nahwu, merinci komponen-komponen esensialnya serta peranannya dalam memahami struktur dan makna kalimat dalam bahasa Arab.

Mari kita gali lebih dalam tentang signifikansi dan perincian terkait dengan pengertian kalam dalam Ilmu Nahwu.

Ilmu Nahwu

Sebelum membahas mengenai Pengertian Kalam dalam Ilmu Nahwu, kita perlu mengetahui apa itu ilmu Nahwu.

Nahwu merupakan cabang dalam pembelajaran bahasa Arab yang berkaitan dengan penempatan suatu kata.

Dengan penguasaan ilmu ini, seseorang, insya Allah, akan memiliki kemampuan untuk membaca kitab-kitab berbahasa Arab.

Tetapi, hal tersebut juga harus didukung oleh pemahaman terhadap kaidah-kaidah ilmu shorof.

Ilmu nahwu terdiri dari beberapa bagian, dan salah satu bagian penting dari ilmu nahwu adalah kalam. Pembagian-pembagian dalam kalam mencakup kalimat isim, kalimat fi’il, dan kalimat huruf.

Selain itu, pembahasan juga mencakup pengertian tentang isim, fi’il, dan huruf, yang menjadi komponen-komponen utama dalam ilmu nahwu.

Pengertian Kalam dalam Ilmu Nahwu

Kalam (الكَلَامُ) dalam istilah ilmu nahwu adalah suatu yang mengandung empat aspek, yaitu lafadz (ucapan), murokkab (tersusun), mufid (bermanfaat), dan bil wadl’i (dengan bahasa Arab).

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab Jurumiyah:

ِالكَلَامُ هُوَ اللَّفْظُ المُرَكَّبُ المُفِيْدُ بِالوَضْع

Artinya:

Kalam adalah lafadz yang tersusun yang bermanfaat dengan menggunakan bahasa Arab.”

Untuk memahami konsep ini secara mendetail, perlu kita telaah lebih lanjut mengenai definisi masing-masing elemen, yaitu lafadz, murakkab, mufid, dan bil wadl’i.

Dengan begitu, kita dapat memiliki pemahaman yang komprehensif terkait dengan kalam.

1. Lafadz: Suara/Ucapan Lisan yang Mengandung Huruf Hijaiyah

Lafadz merujuk pada suara atau ucapan lisan yang mengandung huruf hijaiyah.

Contohnya adalah lafadz “kitaabun” (كتاب), “masjidun” (مسجد), dan “Zaidun” (زيد). Lafadz-lafadz tersebut merupakan bentuk ucapan lisan yang melibatkan huruf hijaiyah.

Berbeda dengan suara klakson, gemercik air, dan suara lain yang tidak mengandung huruf hijaiyah, yang tidak dapat dikategorikan sebagai lafadz.

Dalam konteks kalam, hanya suara yang mengandung huruf hijaiyah yang dapat dianggap sebagai lafadz.

Lafadz terbagi menjadi dua kategori, yaitu lafadz muhmal dan lafadz musta’mal. Lafadz muhmal adalah ucapan yang tidak berguna, sementara lafadz musta’mal adalah ucapan yang bermanfaat dan digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Baca Juga :  Pengertian Ta Marbutah dan Jenisnya

2. Murakkab (Tersusun): Kombinasi Dua Susunan Kata atau Lebih

Murakkab merujuk pada sesuatu yang tersusun dari dua susunan kata atau lebih. Sebuah lafadz dapat dianggap murakkab jika terdiri dari dua kata atau lebih.

Sebagai contoh, kalimat “zaidun qoimun” (زَيْدٌ قَائِمٌ) berarti “Zaid adalah yang berdiri,” dan merupakan contoh murakkab karena tersusun dari kata زيد dan kata قائم.

Penting untuk dicatat bahwa suatu lafadz yang hanya terdiri dari satu kata bukanlah murakkab.

Oleh karena itu, untuk dianggap sebagai kalam, suatu ucapan harus merupakan murakkab isnadiy, dan bukan murakkab tarkib majzi atau murakkab idlofiy.

3. Mufid (Memberi Faidah): Ucapan yang Membawa Makna Sempurna

Mufid merujuk pada ucapan yang memberikan faidah atau makna dengan susunan sempurna.

Ketika seseorang mendengar ucapan tersebut, tidak akan ada pertanyaan atau rasa penasaran, dan mereka dapat diam dengan nyaman.

Sebagai contoh:

Contoh Mufid:

زَيْدٌ قَائِمٌ

Artinya: “Zaid adalah yang berdiri”

Ucapan di atas dikategorikan sebagai mufid karena memberikan makna dengan susunan kata yang jelas dan sempurna.

Contoh Ucapan yang Tidak Mufid:

اِنْ قَامَ زَيْدٌ

Artinya: “Jika zaid berdiri,”

Ucapan di atas tidak mufid karena tidak memberikan makna yang sempurna. Terdapat kata “in” (اِن) yang berarti “jika” dan memerlukan jawaban.

Karena jawabannya tidak disertakan, maknanya menjadi tidak lengkap, membuat pendengar penasaran dan tidak nyaman.

Lafadz اِنْ قَامَ زَيْدٌ tidak mufid, sehingga tidak dapat disebut kalam.

4. Bil Wadl’i (Dengan Bahasa Arab): Bahasa Arab dan Maksud atau Tujuan

Bil wadl’i (بالوضع) dapat diartikan sebagai (بالقصد), yaitu kata dengan maksud atau tujuan. Beberapa ulama menafsirkan bil wadh’i (بالوضع) sebagai (بالعربي), yaitu kata dengan bahasa Arab.

Contoh Kalam yang Memenuhi Syarat (Lafadz, Murakkab, Mufid, dan Bil Wadl’i):

مَنْ جَدَّ وَجَدَ

Artinya, “Barang siapa bersungguh-sungguh, maka ia akan berhasil.”

Ucapan di atas dianggap kalam karena memenuhi empat syarat, yakni (1) lafadz, berupa ucapan yang mengandung huruf hijaiyah, (2) murakkab, karena tersusun dari beberapa kata, (3) mufid, karena memberikan faidah berupa makna sempurna, dan (4) bil wadl’i, berupa bahasa Arab.

Pembagian Kalam

Setelah membahas Pengertian Kalam dalam Ilmu Nahwu, Hasiltani juga membahas pembagian Kalam.

Kalam terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Isim

Isim secara etimologi berarti kata yang menunjukkan yang dinamai. Menurut ahli nahwu, isim adalah kata yang menyiratkan suatu makna pada dirinya dan tidak terkait dengan waktu tertentu.

Sebagai contoh, دَمَشْقُ (Damasyq). Isim dapat merujuk kepada manusia, hewan, tumbuhan, benda mati, tempat, waktu, sifat, atau makna yang tidak bergantung pada waktu.

Tanda-tanda isim meliputi:

  • Dapat diakhiri oleh tanwin, seperti َلَمْ (dalam لَمَمٌ).
  • Dapat dimasuki oleh huruf ال pada awal kata, seperti حَبٌّ (حب الكِتاب).
  • Dapat dimasuki oleh huruf nida’ (panggilan) pada awal kata, seperti َمَدَرِّسٌ (يا مُدَرِّسُ).
  • Dapat dimajrurkan oleh huruf jar sebelum kata, seperti تَيِّبٌ (في التَّيِّبِ).
  • Dapat di-idhofah-kan, seperti ةَشْجَرَةٌ (الشجرة الخضراء) dan غَيْرُ مُنْشَرِفٍ (غير منشرف).
  • Dapat di-isnad ilaih, seperti دَيِّفٌ (حب المدينة).
Baca Juga :  Perbedaan Lafadz, Kalimah, Kalam, Kalim, dan Qaul dan Syarat Kalam

Pada tahap awal, penting bagi pemula untuk memahami pembagian isim berdasarkan:

  1. Jumlah (Mufrad, Tasniyah, Jamak)
  2. Jenis (Mudzakkar dan Muannats)
  3. Segi keumuman dan kekhususan (Ma’rifah dan Nakirah)
  4. Penerimaan tanwin (Musharif dan Ghairu Munsharif)
  5. Perubahan akhir kata (Mu’rab dan Mabniy)

 2. Fi’il

Secara umum, fi’il dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai kata kerja. Secara etimologi, fi’il merujuk pada suatu peristiwa.

Dalam istilah ahli nahwu, fi’il adalah kata yang menyiratkan suatu makna pada waktu tertentu, dan terbagi menjadi tiga waktu, yaitu:

  • Fi’il Madhi (lampau): Contohnya “َبَكَتْ” (ia menangis).
  • Fi’il Mudhori’ (sedang atau akan datang): Contohnya “حَبْكَتْ” (ia sedang menulis) dan “يَحْكُتُ” (ia akan bercerita).
  • Fi’il Amar (perintah): Contohnya “احْكُتْ” (berceritalah).

Tanda-tanda fi’il meliputi:

  • Dapat bersambung dengan ta’ fa’il, seperti “حَتْبَكَتْ” (hingga ia menangis).
  • Diakhiri (fi’il madhi) dan diawali (fi’il mudhori’) dengan ta’ ta’nits, contohnya “بَكَتْ” (ia menangis) dan “حَبْكَتْ” (ia sedang menulis).
  • Dapat bersambung dengan ya’ mukhatabah, contohnya “حشْحُكِرِي” (ia bercerita padamu).
  • Dapat bersambung dengan nun taukid, contohnya “َّحَحَبْكَتْ” (sesungguhnya ia menulis).
  • Didahului huruf دَ َنَ contohnya “قُ ْحَوْقَانِ” (ia berkata-kata dengan sombong).
  • Didahului huruf فَ َوْ contohnya “سْوَحَلَمَعَفْتَقَالَّهُ سْوَاقَكَالَّبْحَ” (sesungguhnya dia melihat dan memperhatikan).

Bagi pemula, penting untuk memahami pembagian fi’il sebagai berikut:

  1. Fi’il berdasarkan kebutuhan terhadap objek (Fi’il Lazim dan Fi’il Muta’addiy).
  2. Fi’il aktif dan pasif (Fi’il Ma’lum dan Fi’il Majhul).
  3. Fi’il berdasarkan huruf penyusun (Fi’il Shahih dan Fi’il Mu’tal).

3. Huruf

Huruf adalah setiap kata yang tidak memiliki makna kecuali jika digunakan bersama kata lain.

Secara etimologi, huruf dalam bahasa memiliki arti yang serupa dengan huruf-huruf yang dikenal dalam bahasa Indonesia, yang terdiri dari 26 huruf.

Dalam bahasa Arab, kita mengenal 28 huruf yang disebut huruf hijaiyah. Namun, huruf yang dimaksud di sini bukanlah setiap huruf hijaiyah, melainkan huruf hijaiyah yang memiliki arti seperti و (seperti ك untuk “dan,” س untuk “maka,” ب untuk “dengan,” dan ل untuk “untuk”).

Huruf yang dimaksud di sini tidak harus berarti huruf yang terdiri dari satu karakter saja, tetapi juga bisa terdiri dari dua atau lebih karakter yang membentuk makna, seperti علَى untuk “atas,” عن untuk “tentang/dari,” اِلَى untuk “ke,” dan من untuk “dari.”

Contoh penggunaan huruf yang memiliki makna adalah النَّا ِس, di mana huruf “نَّا” memiliki makna “tentang” dan “س” memiliki makna “kepada,” sehingga secara bersama-sama membentuk arti “tentang kepada.”

Baca Juga :  Contoh Jumlah Ismiyah Dalam Al-Quran Beserta Terjemahannya

Contoh Soal latihan:

1. Apakah ucapan di bawah ini kalam? Sebutkan alasannya!

“الصَّلَاةُ عِمَادُ الدِّين” “Shalat adalah tiangnya agama.”

Jawab: Ya, ucapan tersebut adalah kalam. Alasannya, ucapan ini memenuhi syarat-syarat kalam karena merupakan lafadz (ucapan) yang berupa kalimat Arab yang tersusun dengan baik, memberikan makna (mufid), dan menggunakan bahasa Arab (bil wadl’i).

2. Apakah ucapan di bawah ini kalam? Sebutkan alasannya!

“مَنْ صَامَ رَمَضَان” “Barang siapa berpuasa,’

Jawab: Ya, ucapan tersebut adalah kalam. Alasannya, ucapan ini memenuhi syarat-syarat kalam karena merupakan lafadz yang berupa kalimat Arab yang tersusun dengan baik, memberikan makna (mufid), dan menggunakan bahasa Arab (bil wadl’i).

3. Apakah ucapan di bawah ini kalam? Sebutkan alasannya!

“قُبَّةُ المَسْجِد” “Kubah masjid”

Jawab: Ya, ucapan tersebut adalah kalam. Alasannya, ucapan ini memenuhi syarat-syarat kalam karena merupakan lafadz yang berupa kalimat Arab yang tersusun dengan baik dan menggunakan bahasa Arab (bil wadl’i). Meskipun maknanya sederhana, namun masih dapat dikategorikan sebagai kalam.

4. Apakah ucapan kalimat atau ucapan “pisang goreng” adalah kalam? Sebutkan alasannya!

Jawab: Tidak, ucapan “pisang goreng” bukanlah kalam. Alasannya, karena “pisang goreng” tidak memenuhi syarat-syarat kalam. Ucapan tersebut bukanlah lafadz Arab, tidak tersusun secara formal, dan tidak memberikan makna yang bermakna dalam konteks ilmu nahwu.

5. Apakah ucapan “مثثثقث” adalah kalam? Sebutkan alasannya!

Jawab: Tidak, ucapan “مثثثقث” bukanlah kalam. Alasannya, karena bukan lafadz Arab yang memiliki struktur atau makna yang jelas. Ucapan tersebut hanya merupakan kumpulan huruf Arab tanpa membentuk kata atau kalimat yang bermakna.

Baca juga: Perbedaan Lafadz, Kalimah, Kalam, Kalim, dan Qaul dan Syarat Kalam

Penutup

Demikianlah informasi dari Hasiltani.id tentang Pengertian Kalam dalam Ilmu Nahwu.

Dalam melibatkan diri dengan Ilmu Nahwu, pemahaman mendalam terhadap konsep kalam menjadi kunci utama.

Artikel ini telah mencoba menyajikan pemahaman menyeluruh tentang pengertian kalam dalam Ilmu Nahwu.

Dari pengertian dasar hingga pembahasan mengenai komponen-komponen esensial seperti isim, fi’il, dan huruf, kita dapat merasakan betapa pentingnya kalam dalam memahami struktur dan makna kalimat bahasa Arab.

Seiring dengan pemahaman lebih lanjut terkait tanda-tanda kalam, baik itu pada isim, fi’il, atau huruf, kita dapat mengakui peran kalam sebagai fondasi penting dalam memahami ilmu nahwu secara menyeluruh.

Semoga artikel ini dapat membantu pembaca memperdalam pemahaman mereka tentang pengertian kalam dalam Ilmu Nahwu, membawa manfaat yang berkelanjutan dalam perjalanan studi bahasa Arab mereka.

Terimakasih telah membaca artikel Pengertian Kalam dalam Ilmu Nahwu ini, semoga informasi mengenai Pengertian Kalam dalam Ilmu Nahwu ini bermanfaat untuk Sobat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *