Apa itu Seni Al-Banjari?

Apa itu Seni Al-Banjari? Inilah Sejarahnya

Posted on

Hasiltani.id – Apa itu Seni Al-Banjari? Inilah Sejarahnya.Apa itu Seni Al-Banjari? Seni Al-Banjari adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang kaya akan nilai-nilai Islam dan seni tradisional.

Seni ini memiliki akar yang dalam dalam sejarah penyebaran agama Islam di Kalimantan, yang menghasilkan sebuah bentuk seni yang unik dan memukau.

Artikel ini akan mengungkapkan lebih dalam tentang Apa itu Seni Al-Banjari?, termasuk sejarahnya, unsur-unsur penting, dan bagaimana seni ini terus berkembang hingga saat ini.

Mari kita eksplorasi kekayaan dan keindahan Seni Al-Banjari bersama-sama.

Apa itu Seni Al-Banjari?

Banyak yang belum mengetahui Apa itu Seni Al-Banjari?, Seni Al Banjari adalah sebuah seni khas Islam yang berasal dari Kalimantan, yang dikenal dengan irama yang menghentak, rancak, dan variatif.

Seni ini masih sangat digemari oleh pemuda-pemudi hingga saat ini. Percakapan seputar seni Al Banjari sering kali membingungkan, seperti dalam percakapan di kalangan santri atau orang-orang yang tertarik pada seni ini.

Mereka seringkali bingung dalam mendefinisikan apa sebenarnya seni hadrah Al Banjari itu. Ada yang berpikir bahwa itu adalah seperti seni hadrah biasa, yang melibatkan penampilan musik dan tarian seperti yang mereka lihat pada seni hadrah lainnya. Namun, sebenarnya, seni Al Banjari memiliki ciri khasnya sendiri.

Menurut Syeikh Muhammad Zaini Abdul Ghani Al Banjari, seorang ulama yang sering dipanggil Abah Guru Sekumpul, seni Al Banjari memiliki ritme ketukan yang sangat khas.

Bahkan, ulama ini mengatakan bahwa ritme ketukan tersebut bersanad atau memiliki jejak sejarah yang dapat ditelusuri hingga pada masa Rasulullah. Jejak ini terhubung dengan sahabat Ansor di Madinah yang menyambut hijrah Rasulullah.

Abah Guru Sekumpul menjelaskan bahwa ritme ini memiliki suatu keindahan dan kesyahduan yang tak tertandingi. Ia bahkan mengatakan bahwa ritme ini harus tetap dipertahankan dan tidak boleh diubah-ubah.

Inilah yang menjadi ciri khas dari seni Al Banjari, seperti yang terlihat dalam qosidah Khobbiri, salah satu pusaka seni hadrah Al Banjari.

Qosidah Khobbiri dianggap sebagai salah satu mahakarya dalam seni hadrah Al Banjari, hampir seperti sebuah master kesenian itu sendiri.

Di dalamnya, tersimpan ilmu makrifat rahasia, terutama pada bagian ha ana ana laha, yang menjadi bagian penting dari seni ini.

Selain itu, seni memukul rebana atau terbang Al Banjari juga merupakan warisan dari Kakek Buyut Abah Guru Sekumpul, yang nama lengkapnya adalah Syeikh Muhammad Arsyad al Banjari. Seni terbang Al Banjari adalah seni yang unik dan istimewa dalam dunia Islam, dan ia terus dipersembahkan hingga saat ini.

Seni Al Banjari juga dianggap sebagai salah satu aset terbaik di pondok-pondok pesantren Salafiyah, dan menjadi ekskul yang diminati oleh banyak santri.

Baca Juga :  Tafsir Setelah Wafat - Mengungkap Alasan di Balik Pangkat Wali Qutub

Bahkan, di beberapa kampus, seni ini semakin dikenal dan disemarakkan oleh kalangan mahasiswa. Seni Al Banjari dengan irama yang menghentak dan penuh semangat terus menjadi bagian penting dari warisan budaya Islam di Indonesia.

Hadrah Al-Banjari adalah salah satu jenis musik rebana yang memiliki akar sejarah yang dalam dalam penyebaran agama Islam.

Kesenian ini telah mengalami perkembangan yang menarik seiring berjalannya waktu, dan seringkali diadakan dalam berbagai acara keagamaan seperti maulid Nabi, isra’ mi’raj, atau perayaan seperti sunatan dan pernikahan.

Alat musik utama dalam Hadrah Al-Banjari adalah rebana, yang sebenarnya berasal dari daerah Timur Tengah dan digunakan dalam acara-acara seni.

Kemudian, alat musik ini menyebar ke Indonesia dan mengalami penyesuaian dengan musik-musik tradisional, baik dalam aspek penyanyian maupun penggunaan alat musik.

Selain Hadrah Al-Banjari, jenis musik seperti gambus, kasidah, dan hadroh juga sering menggunakan rebana dalam pertunjukannya.

Yang membuat Hadrah Al-Banjari unik adalah penggunaan satu alat musik saja, yaitu rebana, yang dimainkan dengan cara dipukul langsung oleh tangan pemain, tanpa alat pemukul tambahan.

Musik ini dapat dimainkan oleh siapa saja untuk mengiringi nyanyian dzikir atau sholawat yang berisi pesan-pesan agama dan pesan-pesan sosial budaya.

Biasanya, bahasa yang digunakan dalam Hadrah Al-Banjari adalah bahasa Arab, tetapi beberapa kreasinya mengadopsi bahasa lokal.

Sebagai generasi penerus, kita seharusnya merasa bangga karena dapat menjaga dan mewarisi apa yang telah diajarkan oleh Nabi sebelumnya. Mari kita bersama-sama melestarikan seni Islam ini, karena pada hakikatnya, Nabi tidak pernah melarang seni.

Rebana dapat menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meraih syafaat-Nya, sehingga kita dapat menjadi umat yang selamat.

Terlebih, melalui jalur nasab Syekh Muhammad Arsyad, dapat dilihat bahwa Abah Guru Sekumpul adalah seorang Habib Alaydrus.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah seorang ulama fiqih mazhab Syafi’i yang berasal dari Martapura, Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Ia hidup pada periode tahun 1122-1227 Hijriah dan dikenal dengan julukan Datu Kelampaian.

Ia adalah pengarang Kitab Sabilal Muhtadin, sebuah karya yang menjadi rujukan penting bagi pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.

Jalur nasabnya menunjukkan hubungannya dengan para Imam dan tokoh-tokoh agama yang terhormat, dan hal ini menambah nilai keagungan dalam warisan ilmu dan seni yang ia persembahkan untuk masyarakat Islam.

Masa Kecil Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari

Pada pembahasan Apa itu Seni Al-Banjari?, Hasiltani akan membahas kisah masakecil syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Masa kecil Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari diawali di desa kelahirannya, Lok Gabang, Martapura. Seperti kebanyakan anak-anak, Muhammad Arsyad juga bermain dan bergaul dengan teman-temannya.

Namun, bahkan sejak masa kecil, kecerdasannya tampak melebihi teman-temannya, dan sikapnya yang ramah serta cinta akan keindahan juga terlihat.

Salah satu bakat luar biasa yang dimiliki Muhammad Arsyad adalah kemampuannya dalam seni melukis dan menulis. Hasil karyanya begitu memukau sehingga orang-orang yang melihatnya terkesan dan kagum.

Baca Juga :  Teknologi Pertanian Jepang

Suatu hari, saat Sultan Tahlilullah berkunjung ke Lok Gabang, ia melihat salah satu lukisan Muhammad Arsyad yang saat itu baru berusia 7 tahun.

Sultan sangat terkesan oleh bakatnya, sehingga meminta kepada orang tua Muhammad Arsyad agar anak tersebut tinggal di istana untuk mendapatkan pendidikan bersama anak-anak dan cucu Sultan.

Di istana, Muhammad Arsyad tumbuh menjadi anak yang memiliki akhlak mulia, ramah, patuh, dan menghormati yang lebih tua. Seluruh penghuni istana menyayanginya dengan penuh kasih sayang.

Sultan sangat memperhatikan pendidikan Muhammad Arsyad, karena memiliki harapan besar bahwa ia akan menjadi seorang pemimpin yang alim di masa depan.

Menikah dan Menuntut Ilmu di Mekkah

Pada pembahasan Apa itu Seni Al-Banjari?, ketika usianya mencapai 30 tahun, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menikah dengan seorang wanita bernama Tuan Bajut.

Pada saat istri pertamanya hamil, muncul keinginan kuat dalam hati Muhammad Arsyad untuk mengejar ilmu di tanah suci Mekkah. Ia berbicara tentang keinginannya ini kepada sang istri dengan harapan mendapatkan dukungannya.

Meskipun pernikahan mereka masih sangat muda dan keputusan ini sulit, istri Muhammad Arsyad akhirnya setuju dan mendukung suaminya dalam mengejar cita-citanya.

Dengan restu dari sultan, Muhammad Arsyad berangkat ke Tanah Suci untuk menggapai cita-citanya. Dengan air mata dan doa-doa yang mengiringi kepergiannya, ia berangkat ke Mekkah.

Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad belajar dari beberapa masyaikh terkemuka pada masanya. Beberapa guru besar yang mengajarinya termasuk Syekh ‘Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.

Guru terakhir yang disebutkan adalah guru Muhammad Arsyad dalam bidang tasawuf. Di bawah bimbingannya, Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, dan akhirnya mendapatkan ijazah sebagai khalifah dari guru tersebut.

Ini adalah bagian penting dari perjalanan pendidikan dan spiritualnya yang mengarah pada pengetahuan dan pemahaman yang lebih dalam tentang Islam dan tasawuf.

Selain itu, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari juga belajar dari beberapa guru lainnya selama masa pendidikannya di Mekkah dan Madinah.

Di antara guru-gurunya adalah Syekh Ahmad bin Abdul Mun’im ad Damanhuri, Syekh Muhammad Murtadha bin Muhammad az Zabidi, Syekh Hasan bin Ahmad al Yamani, Syekh Salm bin Abdullah al Basri, Syekh Shiddiq bin Umar Khan, Syekh Abdullah bin Hijazi asy Syarqawy, Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz al Maghrabi, Syekh Abdurrahman bin Sulaiman al Ahdal, Syekh Abdurrahman bin Abdul Mubin al Fathani, Syekh Abdul Gani bin Muhammad Hilal, Syekh Abis as Sandi, Syekh Abdul Wahab at Thantawy, Syekh Abdullah Mirghani, Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari, dan Syekh Muhammad Zain bin Faqih Jalaludin Aceh.

Selama menuntut ilmu di sana, Syekh Muhammad Arsyad juga menjalin persahabatan dengan sesama penuntut ilmu seperti Syekh Abdussamad Falimbani, Syekh Abdurrahman Misri, dan Syekh Abdul Wahab Bugis.

Baca Juga :  Beragam Pendapat Tentang Surat Terakhir Yang Diturunkan Dalam Al-Qur’an

Setelah menghabiskan lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah, muncul niat dalam hati Syekh Muhammad Arsyad untuk melanjutkan pendidikannya di Mesir.

Namun, ketika niat ini disampaikan kepada guru-gurunya, mereka menyarankan agar Muhammad Arsyad dan tiga murid lainnya pulang ke Jawi (Indonesia) untuk berdakwah di negeri masing-masing, karena rindu akan kampung halaman dan keinginan untuk menyebarkan ilmu.

Dalam pikiran mereka, terbayang keindahan kampung halaman, tepian sungai yang dihiasi dengan pepohonan aren yang menjulang, kicauan burung pipit di pematang, dan desiran angin yang menyentuh hijaunya rumput.

Mereka juga teringat akan kesabaran dan ketegaran istri-istri mereka yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan penantian itu akan berakhir.

Pada Bulan Ramadhan tahun 1186 H (1772 M), Muhammad Arsyad tiba di kampung halamannya, Martapura, yang merupakan pusat Kesultanan Banjar pada masa itu.

Namun, Sultan Tahlilullah, yang telah banyak membantunya, telah meninggal dunia, dan digantikan oleh cucunya, Sultan Tahmidullah II, yang saat itu memerintah Kesultanan Banjar.

Sultan Tahmidullah II sangat memperhatikan perkembangan dan kemajuan agama Islam di wilayahnya. Ia menyambut kedatangan Syekh Muhammad Arsyad dengan upacara adat kebesaran, dan seluruh rakyatpun merayakannya sebagai seorang ulama yang disebut “Matahari Agama,” yang cahayanya diharapkan akan menerangi seluruh Kesultanan Banjar.

Setelah kembali ke kampung halaman, Syekh Muhammad Arsyad dengan penuh semangat berdedikasi untuk menyebarkan ilmu yang telah ia peroleh.

Ia membagikan pengetahuannya kepada keluarga, kerabat, dan masyarakat secara umum. Bahkan, Sultan Tahmidullah II sendiri menjadi salah satu muridnya, sehingga ia menjadi seorang penguasa yang berilmu dan bertaqwa.

Selama hidupnya, Syekh Muhammad Arsyad memiliki 29 anak dari tujuh istrinya, dan ia menjalani hidupnya sebagai seorang ulama dan pemimpin yang dicintai dan dihormati oleh masyarakat Kesultanan Banjar.

Penutup

Demikianlah informasi dari Hasiltani.id tentang Apa itu Seni Al-Banjari?.

Dengan begitu, kita dapat melihat bahwa Seni Al-Banjari bukan sekadar sebuah bentuk seni tradisional, tetapi juga sebuah warisan budaya yang mengandung makna dan nilai-nilai Islam yang mendalam.

Seni ini terus hidup dan berkembang hingga saat ini, mempertahankan keindahannya serta menjadi wahana untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Dengan pemahaman yang lebih dalam tentang Apa itu Seni Al-Banjari, kita dapat lebih menghargai kekayaan budaya dan keislaman yang terkandung di dalamnya, serta ikut berperan dalam melestarikannya untuk generasi mendatang.

Terima kasih telah membaca artikel Apa itu Seni Al-Banjari? ini, semoga informasi mengenai Apa itu Seni Al-Banjari? ini bermanfaat untuk Sobat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *