Hasiltani.id – Memahami Hukum Barang-Barang Yang Terbuat Dari Kulit Binatang – Kehalalan dan Kesucian dalam Syariat. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai berbagai barang yang terbuat dari kulit binatang, seperti tas, sepatu, jaket, dan aksesori lainnya. Namun, hukum mengenai penggunaan barang-barang ini dalam Islam menjadi perhatian penting, terutama terkait dengan jenis hewan dari mana kulit tersebut diambil.
Hukum barang-barang yang terbuat dari kulit binatang tidak hanya bergantung pada aspek kehalalan kulit itu sendiri, tetapi juga mempertimbangkan proses penyembelihan dan tujuan penggunaan barang tersebut. Dalam konteks ini, penting untuk memahami berbagai pandangan dari para ulama mengenai kehalalan dan kesucian kulit binatang, terutama dalam hal barang-barang yang berasal dari hewan halal dan haram.
Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai hukum barang-barang yang terbuat dari kulit binatang, termasuk kategori hewan, proses samak, dan pendapat para ulama dalam menetapkan status hukum atas barang-barang tersebut.
Masalah Kulit Hewan Buas (Kulit Ular dan Buaya)
Sebelum membahas hukum barang-barang yang terbuat dari kulit binatang, Hasiltani membahas masalah kulit hewan buas.
Meskipun ada pendapat yang menyatakan bahwa kulit apa pun menjadi suci setelah disamak, kulit hewan buas seperti buaya, harimau, dan ular tetap dilarang untuk digunakan. Hal ini berdasarkan hadis yang melarang penggunaan kulit hewan buas, yang diriwayatkan oleh Al-Miqdam bin Ma’dikarib. Suatu ketika, Al-Miqdam mendatangi Mu’awiyah dan berkata kepadanya:
أَنْشَدُكَ بِاللهِ: هَلْ تَعْلَمُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ نَهَى عَنْ لُبُوْسِ جُلُوْدِ السِّبَاعِ وَالرُّكُوْبِ عَلَيْهَا؟
“Aku bersumpah dengan nama Allah, bukankah engkau tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengenakan kulit hewan buas dan menunggangi (menaiki) di atasnya?”
Mu’awiyah menjawab, “Iya.” (HR. Abu Daud, 4131; An-Nasai, 7:176). Hadis ini dinilai sahih dan memiliki banyak penguat. Dalam catatan Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:93, Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa sanad hadis ini baik (jayyid) dan perawinya terpercaya (tsiqqah). Al-Hafizh Abu Thahir juga mencatat dalam Sunan Abu Daud bahwa hadis ini adalah hasan.
Kulit Binatang ada Tiga Macam
Pada pembahasan hukum barang-barang yang terbuat dari kulit binatang, Hasiltani membahas 3 macam kulit binatang.
1. Kulit hewan yang halal dimakan dan bukan bangkai (mati dengan cara disembelih)
Kulit hewan yang halal untuk dimakan dan tidak termasuk bangkai (mati dengan cara disembelih) mencakup kulit kambing, sapi, dan hewan halal lainnya.
Hewan jenis ini tidak memerlukan penjelasan yang rumit—kulitnya halal dan suci untuk digunakan. Karena daging hewan tersebut halal, maka kulitnya yang merupakan bagian dari hewan itu juga halal dan suci.
Dalilnya terdapat dalam hadis Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam:
دباغها ذكاتها
“Kesucian kulit hewan yang halal dimakan tergantung pada proses sembelihnya” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Ghoyatul Murom).
Proses samak diperlukan untuk menjadikan kulit hewan yang najis menjadi suci. Namun, untuk hewan yang mati dengan cara yang sesuai syariat dan tergolong halal dimakan, proses samak ini sudah digantikan oleh proses penyembelihan yang benar. Dengan kata lain, begitu hewan disembelih, kulitnya secara otomatis menjadi halal dan suci tanpa perlu menjalani proses samak yang biasa kita kenal.
2. Kulit hewan yang halal dimakan, namun telah menjadi bangkai
Kulit hewan yang halal dimakan, namun telah menjadi bangkai, juga memiliki aturan tersendiri. Suatu hari, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang menyeret kambing yang sudah mati. Beliau pun bertanya kepada pemilik kambing tersebut:
هلا أخذتم إهابها
“Alangkah baik jika Anda memanfaatkan kulitnya.”
Pemilik kambing menjawab,
إنها ميتة
“Ini adalah kulit bangkai, ya Rasulullah.”
Nabi menjawab,
يطهره الماء والقرض
“Bisa disucikan dengan air dan dedaunan untuk menyamak” (HR. Abu Dawud, dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shilshilah As-Ashahihah no. 2163).
Hadis ini menunjukkan bahwa kulit bangkai yang pada awalnya najis dapat menjadi suci setelah disamak. Dengan demikian, kulit tersebut dapat digunakan untuk membuat jaket, tas, sepatu, dompet, dan lain sebagainya, serta tetap suci saat digunakan untuk salat.
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bidayatul Faqih (ringkasan Syarah Al-Mumti’ karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah):
فإذا دبغ الجلد فصار طاهرا وأبيح استعماله في الرطب واليابس
“Jika kulit bangkai telah disamak, maka ia berubah menjadi suci dan halal untuk digunakan baik dalam keadaan basah maupun kering” (Bidayatul Faqih hal. 17).
3. Kulit Hewan yang Haram Dimakan
Kulit dari hewan yang haram dimakan, seperti babi, anjing, ular, dan binatang buas lainnya, tidak suci untuk digunakan, meskipun telah disamak. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan sebelumnya:
دباغها ذكاتها
“Samaknya kulit hewan yang halal dimakan adalah proses sembelihnya” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Ghoyatul Murom).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hewan yang kulitnya halal dan suci untuk digunakan dengan istilah ذكاة (dzakaah), yang berarti sembelihan. Kita semua tahu bahwa dzakaah hanya bisa menjadikan halal dan suci bagi hewan-hewan yang dagingnya juga halal, seperti kambing, sapi, dan sejenisnya. Dzakaah tidak dapat menghalalkan hewan yang haram, seperti babi dan anjing. Oleh karena itu, kulit hewan yang haram dimakan tetap tidak halal dan suci, meskipun telah disembelih atau disamak.
Jual Beli Kulit Hewan Buas
Pada artikel hukum barang-barang yang terbuat dari kulit binatang, Hasiltani membahas jual beli kulit hewan buas.
Dalam buku “Harta Haram Muamalat Kontemporer” (hlm. 82, cetakan ke-22) dijelaskan bahwa larangan menggunakan kulit hewan buas bukan karena kulitnya dianggap najis, melainkan karena hal itu menyerupai orang-orang kafir dan dapat menimbulkan keangkuhan.
Lalu, apakah boleh untuk menjual beli kulit binatang buas, seperti kulit ular dan buaya yang telah disamak? Dalam hal ini, para ulama dari madzhab Hanafi dan Maliki membolehkan penjualannya, dan hasilnya dianggap halal. Namun, ulama dari madzhab Syafii dan Hambali mengharamkan jual beli kulit hewan tersebut, bukan karena najis, tetapi karena penggunaan kulit tersebut dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, jual beli kulit hewan buas tidak boleh dilakukan dan hasil penjualannya dianggap haram.
Pendapat ini dianggap yang terkuat karena menggabungkan berbagai dalil yang mendukung dan melarang penggunaan kulit binatang buas. Wallahu a’lam.
Baca juga:
- Manfaat Tangkur Buaya Bukan Hanya Sekadar Mitos Atau Kepercayaan Semata
- Arti Melihat Ular Nyata – Simbolisme, Peringatan, dan Pesan Spiritual
- Manfaat Makan Daging Ular dan Resep Rica-Rica Daging Ular
Penutup
Demikianlah informasi dari Hasiltani.id tentang hukum barang-barang yang terbuat dari kulit binatang.
Dalam memahami hukum barang-barang yang terbuat dari kulit binatang, kita dihadapkan pada berbagai pertimbangan yang melibatkan aspek kehalalan, kesucian, serta tujuan penggunaannya. Barang-barang dari kulit hewan halal, seperti kambing dan sapi, dapat digunakan secara luas setelah melalui proses samak yang sesuai dengan syariat. Namun, penggunaan kulit dari hewan haram atau hewan buas harus dihindari, baik dari segi hukum maupun etika, untuk menjaga kesucian iman dan kehormatan diri sebagai seorang Muslim.
Penting untuk merujuk kepada pendapat para ulama yang berbeda dalam hal ini, serta memperhatikan konteks sosial dan budaya yang ada. Sebagai konsumen, kita memiliki tanggung jawab untuk memilih produk yang tidak hanya berkualitas, tetapi juga memenuhi prinsip-prinsip syariat Islam. Dengan pemahaman yang mendalam mengenai hukum barang-barang yang terbuat dari kulit binatang, kita dapat membuat keputusan yang bijak dan sesuai dengan ajaran agama.
Semoga artikel ini dapat memberikan wawasan yang bermanfaat dan membantu pembaca dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang selaras dengan prinsip-prinsip Islam.